kapiten hari

KIKUK KIKUK, ... KIKUK

Siapa Aku...

Bingung mau tulis apa.

Kasih Tau Dong...

Kalo ada temen jang bisa bantu kasih gambaran siapa aku, tolong bantu ya.

kalau kita sedang melihat air apa yang akan kita lakukan?



ayooo kita tebak-tebakan siapa hobynya apa dan siapa sukanya ngapain kalau melihat air?
jawaban ku ada yang suka renang, ada yang suka mancing, ada yang sukanya minum, mungkin juga ada yang suka baca buku tentang air, dan ada yang berwudhu.
tapi om yang ini kan temanya KPC mau menyusuri Tjiliwoeng kok tebak tebakan nya siapa yang hobynya apa dan siapa akan melakukan apa sih?
oh yaaa coy aku lupa kalau tanggal 07/05/2011 itu KPC akan susur Tjiliwoeng, seharus nya aku tebak-tebakannya dan pertanyaannya, apa yang akan dilakukan kalau kita akan mensusuri Tjiliwoeng dan siapa yang perduli terhadap keberadaan Tjiliwoeng mungkin ini kali yaaa coy yang pantas pertanyaannya? atau ada yang lain pertanyaaannya siapa yang bisa nebak ayooo..... acungkan jempolnya ehhhh salah acungkan jarinya, heheheh jadi malu aku.

Ngomong-ngomong susur Tjiliwoeng ini, dalam rangka apaan sih om? Wah kalau pertanyaannya seperti itu aku jawabnya ngimana yaaa, mungkin ku ceritakan sekilas aja kali yaaa Coy biar kita sama-sama ngak kebingungan, Sebenarnya di Mbogor itu ada nama salah satu sungai yaitu sungai ciliwung dari beberapa nama-nama sungai yang mengalir ke hilir ibukota Jakarta. Tjiliwoeng sangat erat sejarah nya dengan kerajaan hindu tertua menurut pencatatan sejarah (hindu atau bukan aku juga ngak tau kerajan mbogor ini) yang terakhir sebelum berakhir nya kerajaan blambangan Bayuwangi. yang jelas keterkaitan Tjiliwoeng dengan Kerajaan Galuh pakuan atau yang terkenal dengan sebutan kerajaan Pajajaran, nama Rajanya yang cukup kesohor dengan sebutan Sang Baginda Maha Raja ini atau nama sebutan lainnya Prabu siliwangi.
Mbogor jadi tujuan persinggahan pasukan kolonial Belanda untuk persinggahan perdangan dan tempat istirahat pasukan kolonial Belanda, pasukan kolonial Belanda kebogor lewat sungai tjiliwoeng yang mana pada massa itu sungai tjiliwoeng ini bisa di lewati kapal-kapal besar pada massa kerajaan Prabu siliwangi, air Tjiliwoeng yang bersih banyak di ambil kapal-kapal pedangang dari mana-mana untuk di jadika air minum awak kapal dan mengisi Drum-Drum perbekalan kapal. Apa benar yang ku ceritakan tentang Tjiliwoeng di jadikan jalur tranportasi perdangan? Kalu pengen tau tjerietanya Tjiliwoeng Ayyyyyyoooooooo Kita sama-sama Buktikan Coy apa bener menurut tjeritakoe yang sumbernya banyak dari tjerieta-tjerieta orang tua doeloe.
Kita kalau pengen tau Tjiliwoeng Kita dekati Tjiliwoeng kita jadikan teman, kita jajaki, kita rawat, kita jaga, dan tentunya kita soesoeri bersama kita gali cerita nya, kita cari kebenaran cerita nya, kita buktikan dengan mata kepala kita sanggup gak? kalau jawaban nya sanggup

ayoooo kita rame-rame pada tanggal 07/05/2011 hari sabtu Kita gabung bareng komunitas yang ada di Mbogor nama nya KPC (komunitas peduli Ci). Kpc ini sudah menyusuri Tjiliwoeng dari telaga warna hulu Tjiliwoeng dan soesoer lanjutannya, yang di agedakan tiap sebulan sekali setelah KPC melakukan Bermacam kegiatan mulai dari mulung sampah Tjiliwoeng, Mulung bibit semai beringin dan nyamplung, Nanam hasil polongan bibit di bantaran Tjiliwoeng, sampai melakukan soesoer Tjiliwoeng yang akan dilanjutkan kali ini.
kalau mau gabung ngimana cara nya om?

SmS aja ke nomor Cpnya om kikuk 08561235298 atau biasanya kalau setiap mau soesoer Tjiliwoeng KPC ngumpulnya di depan pintu masuk terminal Damri Baranangsiang Jam 06.00-07.00 WIB.
Siapa aja yang boleh ikutan soesoer om?
yang jelas yang tertarik dan yang mau perduli akan keberadaan Tjiliwoeng, masak yang sedang sibuk atau yang lagi tidur.

AIR TJILIWOENG GATAL

Pada tanggal 17 april 2011 segerombolan kecil anggota KPC kembali melakukan aktivitasnya, mulung di Tjiliwoeng. Setelah adanya tambahan aktivitas yang lain yaitu mulung sampah, mulung bibit, jalan atau soesoer, dan menanam hasil pulungan di tjiliwoeng. setelah angak lama rasanya tangan ini ngak mengotori dengan sampah-sampah Tjiliwoeng, berat memang rasa nya untuk melakukannya lagi, tapi apa daya kalau melihat kondisi tjiliwoeng yang semakin hari semakin tak terurus. Basah dan kotor hal biasa yang selama perjalanan usia KPC yang akan beranjak kepala 3 (tiga). Pagi itu saat sebagian kecil anggota KPC akan memulai aktivitasnya lagi, aku dan kawan ku sempat mengamati beberapa tempat sudut di bantaran Tjiliwoeng. ternyata tempat yang pertama kali yang di jadikan aktivitas kegiatan KPC, waktu KPC baru seumur biji jagung, kini banyak hal perkembangannya. kalau kesadaran Warga mulai tergugah mungkin bisa terjadi, memang agak susah menumbuhkan kesadaran tanpa ada niatan yang tulus. Kesadaran seperti apa yang terjadi? kesadaran atas warga kini memang gak membuang sampah nya ke sungai, dan ada nya beberapa tulisan tentang penting nya kebersihan lingkungan sekitar, walaupun tulisan ini yang membuat anggota TNI. Doeloe di tempat ini (lapangan lebak kantin) pernah KPC manfaatkan sebagai tempat untuk memperingati hari jadi KPC yang pertama dan tempat penerimaan hadiah lomba mulung. Karna sejarah mulung sampah pertama kali di tempat ini maka di pilihlah lapangan lebak kantin sebagai tempat untuk merayakan ultah KPC dengan berbagai kegiatannya. Kini tempat ini dijadikan tempat pemeliharaan bibit ikan lele, memang sejak doeloe tanah ini sempat di jadikan kolam ikan (empang). Tanah ini memang milik TNI, imbau imbau tentang lingkungan sekitar mulai di pasang mulai dari imbauan tentang lingkungan dan tulisan tentang siapa yang piket untuk menjaga empang terpal TNI. Setelah mengamati sekitar sudut Tjiliwoeng sambil nunggu anggota yang lain saya dan temanku akhirnya memutus kan memasang spanduk KPC, mas kita pasang aja spanduk sekarang tutur teman ku. Ok kita pasang aja sepanduk ini di atas batu aja. Setelah spanduk berukuran lima meteran terpasang dengan khas lougatnya orang berteriak tjiliwoeng ruksak hirup balangsat. gerombolan ini memulai aktivitas nya mulung sampah, tak berapa lama kami memulai mulung sampah ada dari arah lapangan sempur yang jeprat jepret ala photografer, entah apa yang di jeprat jepret nya. Kami pun melajutkan aktivitas kita memulung sampah, sampah memang banyak tapi kami memutuskan mulungnya yang ada di airnya. Selang tak begitu lama kami mulung air tjiliwoeng kok semakin lama semakin coklat pekat, batin ku mengatakan mungkin diatas hujan, tapi masak sih hujan disini aja panas terik kayak ngini. Tapi kalau hujan bukan nya debit airnya semakin naik, aneh memang aneh debit air ngak naik eh malah tangan dan kakiku yang saat itu turun ke dalam air tjiliwoeng terasa gatal-gatal. Wah ada apa ya ini air tjiliwoeng kok coklat seperti ini dan air nya pun gatal tanyaku pada teman mulungku? mungkin ada yang buang limbah mas tutur teman ku. Tak puas dengan jawaban temanku aku memutuskan setelah karung-karung yang disediakan oleh KPC terisi 6 karung, aku memutuskan istirahat sejenak di warung kopi di bantaran tjiliwoeng. Warung ini memang selalu rame banyak yang nongkrong, karna bersebelahan dengan pangkalan ojek. Sambil ngopi aku coba ngobro dengan beberapa warga yang tinggal di lebak kantin. Pak ngak biasa nya Tjilioeng airnya coklat seperti ini tanyaku? iya mas memang gak biasa nya hujan juga engak, kalau hujan air nya pasti gede mas. Jadi apa yang terjadi pada Tjiliwoeng saat ini pak tanyaku kembali? mungkin ada yang buang limbah mas atau ada yang lagi guras empang. Oh begitu yaa pak sapaku, ok lah pak kalau begitu makasih.
Aku pun masih tak puas dengan jawaban warga lebak kantin, aku coba tanyakan lagi pada orang orang yang menurut orang lebak kantin transit di bawah jembatan jala harypat sempur. orang yang kalau siang beraktivitas di bawah jembatan jalaharupat. Ada yang mencuci baju, ada yang tiduran, ada pula yang lagi masak di bawah jembatan. Pak sapa ku pada mereka ya mas ada apa ya tanya balik si bapak? aku mau tanya pak bapak sering ngak beristirahat di bawah jembatan ini seperti sekarang? sering mas emang kenapa tanya ketus, oh ngak apa-apa pak, ok kalau begitu aku boleh tanya yaa pak? kenapa yaaa pak air Tjiliwoeng jadi keruh seperti ini pak ? Wah aku juga gak tau mas, biasanya air Tjiliwoeng gak sekeruh ini baru kali ini Tjiliwoeng keruh seperti yang kayak mas liat tutur si bapak. Ok pak makasi banyak, mungkin kalau ada yang tau kenapa air Tjiliwoeng keruh pada tanggal 17/04/2011 bisa kasih tau saya kenapa air Tjiliwoeng keruh dan gatal. untuk rasa penasaran saya mencari jawaban, maksih banyak kalau ada yang tau dan mau ngabari saya.

Burung di Tepian Ciliwung: Catatan Perjalanan Susur Hulu Ciliwung









Burung di Tepian Ciliwung:
Catatan Perjalanan Susur Hulu Ciliwung

Berita mengenai rencana penelusuran hulu Ciliwung aku terima pertama kali melalui emailku, Rabu (22/12), dari sang pengirim yang tak lain tak bukan Hari Kikuk, Spesialis Urusan Logistik Komunitas Peduli Ciliwung yang kali ini didaulat sebagai komandan sUrCil (susur Ciliwung). Takut tidak dapat hadir dalam ngobrolin rencana tersebut, apalagi sampai pelaksanaan kegiatan, aku diamkan saja email itu.
Sabtu (8/1) selepas sholat Subuh, aku bergegas memacu motorku menuju tempat yang ditetapkan untuk berkumpul, Gerbang Terminal Damri Bogor. Lagi-lagi permohonan Hari Kikuk, sang komandan sUrCil, untuk datang tepat waktu pukul 05.00 WIB tidak bisa terpenuhi, aku terlambat. Wuih..ternyata dah banyak rekan-rekan yang berkumpul. “Sorry teman aku terlambat..” begitu pertama kali aku menyapa mereka. Mengetahui apa yang mereka bawa, aku tahu kalau sUrCil ini kelihatannya agak sedikit serius. Ada yang bawa GPS, kamera, dan peralatan tulis menulis, tidak seperti biasanya yang membawa karung buat mulung sampah. Rubby, salah satu penelusur, yang kesehariannya bekerja di Kementerian Kelautan dan Perikanan membawa seperangkat alat tangkap ikan kecil untuk mencari sample ikan, lengkap dengan bahan awetan spesimen basah. Sementara itu aku membawa teropong alias kĕkeran, iseng-iseng jikalau ada objek menarik sepanjang sUrCil kan lumayan buat penyegaran mata. Apalagi memang niatanku ingin hilangkan penat, maklum akhir-akhir ini lagi sedikit full. Sekian lama kemudian, tapi masih pukul lima lebih limapuluh lima waktu Indonesia barat, satu rombongan penelusur hulu Ciliwung sejumlah 13 orang bertolak menuju titik pendaratan pertama, kawasan Telaga Warna.

Telaga Warna, dalam banyak literatur, disebutkan sebagai pangkalnya, alias hulunya, Sungai Ciliwung. Kawasan hutan yang ditetapkan sebagai cagar alam (368,25 hektar) dan taman wisata alam (5 hektar) oleh pemerintah berada pada lketinggian 1400 m dpl. Lokasinya yang berdekatan dengan jalur Jalan Raya Puncak membuat kawasan ini banyak dikunjungi wisatawan, terutama untuk menikmati eksotisme danau telaga warna. Hutan alami yang memanjang dengan tebing terjal di samping kanan, pohon puspa, saninten dan rasamala, pakis, liana, pisang monyet, lumut tebal menempel pada batang, seolah memperlihatkan ciri hutan pegunungan tropis alami. Sungguh berdaya magis dalam liputan kabut pagi di tepi telaga dengan gerombolan Macaca fascicularis yang mendekat dan sesekali berteriak menjaga wilayah mereka.

Meski singkat di Telaga Warna, aku sempat melihat Rhipidura phoenicura atau kipasan ekor-merah, burung endemik jawa dari keluarga sikatan ini didominasi warna coklat-merah bata mulai dari tubuh bagian tengah sampai dengan ekor. Sementara tubuh bagian tengah sampai kepala didominasi hitam dengan putih di bagian perut dan tenggorokan. Senang sekali melihat kembangan dan goyangan ekor kipas sembari berlompatan dari satu dahan ke dahan lainnya. Burung dengan sebaran terbatas pada pegunungan jawa ini dapat ditemukan pada ketinggian 1000-2500 m dpl. Selain kipasan, nyanyian nyaring Malacocincla sepiaria atau pelanduk semak terdengar jelas di sema-semak tepian hutan.

Hanya beberapa menit aku menikmati suasana hutan tropis ini, perjalanan mesti dilanjutkan menelusur lika-liku aliran air. Tidak ada metode baku, tidak ada panduan dalam penelusuran ini, pokoke jalan aja...gak ada target, sesampainya aja.. begitu tekad sederhana kami.
Lika-liku Ciliwung memang merefleksikan lika-liku kehidupan masyarakat yang dilaluinya. Tentu saja dengan kompleksitas persoalan hulu-hilir yang sering muncul. Bagaimana tidak, aliran sempit selokan Ciliwung yang kami temui di sekitar Telaga Warna, kemudian menjadi selokan buangan air limbah rumah tangga, sampai kemudian semakin lebar menjadi sungai, menjadi momok menakutkan bagi Jakarta karena terus-terusan mengirim banjir, melumpuhkan aktivitas ekonomi, kerugian milyaran rupiah pun tak terhindarkan.
Memasuki kebun teh, suasana mulai ramai dengan kicau tiga ekor Prinia familiaris atau prenjak jawa yang sedang bermain pada dahan kaliandra, seolah menyambut kedatangan tim penelusur yang masih kebingungan mencari aliran air. Tim menemukan daerah basah tergenang air, selang beberapa saat aliran air selebar kurang dari 1 meter mulai terlihat jelas mengalir di antara kebun teh mirip aliran selokan. Seekor Halcyon cyanoventris atau cekakak jawa meluncur tajam dari arah yang lebih atas sembari berteriak-teriak. Burung ini suka bersarang pada tebing-tebing sungai di sekitar rimbunan bambu. Sementara itu puluhan Collocalia esculenta atau walet sapi terbang tidak teratur berusaha menangkap serangga terbang pada areal terbuka kebun teh.
Gemericik aliran sungai Ciliwung makin keras terdengar dengan makin lebarnya badan sungai dan bebatuan yang membentuk riak-jeram kecil. Memasuki wilayah permukiman penduduk, dengan dominasi penggunaan sempadan sungai sebagai kebun campuran memberikan peluang untuk bisa menemukan lebih banyak burung. Terbukti, jenis-jenis burung khas pekarangan rumah dan kebun campuran mulai teridentifikasi seperti Aegithina tiphia cipoh kacat, Cacomantis merulinus wiwik kelabu, Pycnonotus aurigaster cucak kutilang, Lanius schach bentet coklat, Zosterops palpebrosus kacamata jawa, Dicaeum trochileum cabe jawa, Streptopelia chinensis tekukur biasa dan Lonchura leucogastroides bondol jawa serta tidak ketinggalan Passer montanus atau burung gereja. Pagi hari semakin bersemarak dengan kicau ramai burung-burung ini. Bahkan saat rehat, seekor burung pelatuk Dendrocopus macei atau caladi ulam berhasil teramati persis pada batang pohon dekat dengan sebuah villa mewah yang baru dibangun.

Penelusuran sempat terhenti sejenak karena hujan yang cukup besar. Namun karena sudah siap diri, tim penelusur menggunakan payung, jaket hujan, ponco, topi, bahkan hanya mengandalkan kantong kresek hitam untuk menutup kepala agar tidak kehujanan. Lanjuttt....
Penelusuran mulai sedikit menantang karena beberapa kali harus masuk ke dalam badan sungai. Jalan menuju aliran Ciliwung seringkali terhalang tembok-tembok villa sehingga tim penelusur kesulitan mengikuti alirannya. Pada kesempatan ini, beberapa kali dijumpai Motacila cinerea atau kicuit batu melompat di atas bebatuan di dalam badan sungai. Halcyon chloris atau cekakak sungai pun tidak luput dari bidikan teropongku. Yup... salah satu jenis burung dari keluarga Alcedinidae atau raja udang ini memang mencolok, sering bertengger pada dahan kering di areal terbuka, khususnya yang dekat dengan sumber air. Jenis ini empat kali tercatat selama penelusuran hari itu.
Pada dataran yang lebih tinggi, aku mencoba meneropong daerah perbukitan yang terlihat lebih hijau dan berhutan. Satu, dua, tiga...terlihat villa-villa baru yang sedang dibangun. Sementara itu, seekor Ictinaetus malayensis atau elang hitan melayang diatas bukit-bukit berhutan tersebut.
Rehat makan siang kami gunakan sebaik mungkin untuk isi “amunisi”, maklumlah tidak banyak dari kami yang sarapan pagi sehingga makan siang kali ini begitu nikmat dan bersemangat.
Aku tidak tahu pasti berapa kilometer yang sudah dilalui hari ini, namun informasi jarak lurus dari GPS menunjukkan 5 km, aku menduga kalau jarak sesungguhnya bisa tiga kali lipatnya. Dua hal yang menjadi catatanku selama penelusuran sehari itu adalah pertama bahwa persoalan Ciliwung tidak terlepas dari aspek penggunaan lahan dan perubahannya. Mulai dari Telaga Warna yang berupa hutan tropis alami penyerap dan penampung air hujan, berubah menjadi kebun teh, kemudian menjadi permukiman padat, kebun campuran, sawah, halaman depan villa, dan sarana objek wisata. Itu baru 5 km pertama, belum lagi kalau ditelusur sampai bawah. Permukiman padat, limbah industri, limbah rumah tangga, sampah, penyempitan badan sungai, dan segepok persoalan lainnya menanti di bagian tengah dan hilir. Kedua bahwa akumulasi sampah telah di mulai dari hulu sungai bahkan pada lokasi paling hulu sekalipun. Sampah ini terus terakumulasi, mengendap, mengalir mengikuti arus hingga ke hilir. Bukan hanya sampah dari permukiaman masyarakat, sampah juga berasal dari resort dan villa yang dibelah aliran Ciliwung.
Tidak banyak burung yang dapat dijumpai kali ini, dapat dikatakan bahwa sebagian besar jenis burung yang teramati adalah jenis umum yang sering kita temukan di sekitar kita. Hasmar, dkk. (2009) yang melakukan penelitian keanekaragaman jenis burung pada lima lokasi di bagian tengah-hilir Ciliwung menemukan 15-28 jenis burung di setiap titik pengamatan. Jenis umum yang sering ditemukan diantaranya tekukur, cucak kutilang, walet linchi dan tekukur. Sementara itu disebutkan bahwa Hernowo dan Prasetyo yang dua puluh enam tahun silam mengamati burung di Ciliwung menemukan jenis umum seperti kutilang, gereja, pipit, madu cabean, prenjak, cucak, walet, dan ciblek.

Faktor tutupan lahan diduga memengaruhi keberadaan jensi burung tertentu. Jika sungai dikelola dengan baik dimana tutupan vegetasi yang rimbun mengalir disepanjang sempadan sungai bukan tidak mungkin kali Ciliwung akan semakin asri dan menjadi rumah bagi aneka burung. Sambil memancing aneka ikan, tentu sangat indah kalau ditemani kicau beragam burung dengan keteduhan tajuk pepohonan.


Diskusi

Menurutku, kunci dari pengelolaan lahan sepanjang aliran sungai adalah bagaimana pengelolaan kawasan perlindungan sempadan sungai. dalam Kerpres No.32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, disebutkan bahwa sempadan sungai merupakan bagian dari kawasan perlindungan setempat. Dimana tujuan perlindungan sungai adalah untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai. Sempadan Sungai sendiri diartikan sebagai kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
Kriteria sempadan sungai adalah:


a. Sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada diluar pemukiman.
b. Untuk sungai di kawasan pemukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 - 15 meter.

Penanaman berbagai jenis pepohonan bukan hanya akan memperbaiki kualitas lingkungan dan berperan dalam konservasi tanah dan air tetapi menambah nilai ekonomi jangka panjang pengelola lahan. Aneka jenis pohon tersebut dapat dipilih misalnya pohon buah, bambu, beringin, tanaman bebungaan, dan lainnya. Selain itu, bentuk kegiatan ekonomi lainnya perlu digerakkan seperti budidaya ikan dalam keramba di sepanjang aliran. Budidaya ikan dalam keramba tentu akan membutuhkan kualitas air sungai yang bersih dan tidak tercemar. Oleh karena itu diharapkan komitmen warga dalam memperbaiki dan menjaga kualitas sungai Ciliwung akan meningkat.


Hasmar, R., Ruskomalasari, Alwi Khadafi, Hafid B. Prayoga, dan Lisa Apriyanti. 2009. Keberadaan Jenis Burung pada Lima Stasiun Pengamatan di Sepanjang DAS Ciliwung Depok-Jakarta. Vis Vitalis vol. 2 No. 2. Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta.



Muslich